Selasa, 26 Januari 2010

Bila hati dimabuk cinta

Ibnul Jauzi rahimahullah pernah ditanya tentang beberapa bait syair yang menceritakan bolehnya mabuk asmara yang berbunyi: Wahai orang ‘alim bagaimana pendapat anda? Tentang orang yang hancur luluh dimabuk cinta?..
Maka Ibnu Al-Jauzi menjawab: Wahai pemuda yang tenggelam dalam badai asmara, yang selalu menghadang bahaya dengan semangatnya, dengarlah dari jiwa yang ingin memberikan nasihatnya, semoga engkau mendapat petunjuk karenanya.. Hingga perkataannya: Seluruh perkara yang engkau sebutkan dan engkau tanyakan, adalah perkara yang diharamkan Allah atas hamba-Nya, Allah tidak pernah halalkan, dalam syari’atnya perkara yang telah menjeratmu, maka menyingkirlah dari jalan hawa nafsumu dan menjauhlah darinya, berhentilah dan ketuk pintu Rabbmu Yang Maha Esa dan Tunggal, dan berdo’alah agar Dia menyembuhkan penyakitmu, tidak menyiksamu dan mengadzab hatimu, tahanlah dirimu dari cinta dan jangan tunduk padanya, dan bersabarlah serta sembunyikan sekuat tenaga, jika engkau mati dalam keadaan bersabar dan mengharapkan ganjaran Allah, engkau akan berbahagia kelak di Surga yang kekal abadi.. (Raudhatul Muhibbin, hal. 151-152 [Dikutip dari: Buku 'Al 'isyq Bila Hati Dimabuk Cinta Hakikat, makna beserta terapinya menurut Al-Qur'an dan Sunnah oleh Muhammad Ibrahim Al-Hamd, hal. 64-66, Pustaka At-Tibyan])
Abu Al-Khatthab Mahfudz bin Ahmad Al-Kalwazani rahimahulloh pernah ditanya tentang hukum mabuk asmara dan hukum berhubunga dengan orang yang dicintai. Pertanyaan ini dalam bentuk syair yang tertulis di atas secarik kertas maka Abu Al-Khattab menjawab:”Wahai Syaikh yang bijaksana yang telah mengalahkan syair para pujangga di zamannya. Kemudian Abul Khatthab melanjutkan:”Barangsiapa menyelami lautan fitnah kemudian mendakwa dirinya dapat selamat darinya.. Maka dia telah berlaku nifak dalam urusannya, syari’at tidak pernah membolehkan segala sarana yang dapat menjatuhkan seorang muslim dalam bahaya.. Maka selamatkan dirimu dan tinggalkan kotoran hawa nafsu, semoga engkau dapat terhindar dari kejahatannya, inilah jawaban Al-Kalwadzaani telah datang kepadamu mengharap pahala dari Allah.” (Raudhatul Muhibbin hal. 151 [buku hal. 64])
“Jika anda ingin mengetahui dan menilai seorang insan dan martabatnya maka lihatlah siapa kekasih yang dicintainya dan cita-citanya. Ketahuilah bahwa cinta yang terpuji tidak akan terkena segala bentuk bahaya mabuk cinta yang telah disebutkan.” (Raudhatul Muhibbin hal. 213 [buku hal. 61].. Benarlah ungkapan seorang penyair:”Harga seseorang dinilai sesuai dengan besarnya cita-cita, maka terpujilah busurmu jika mengenai sasaran yang berharga.” (Khawatir Al-Hayat, karya Syaikh Muhammad Al-Khidir Hasan hal. 139 [buku hal. 62])

Rabu, 06 Januari 2010


WAWASAN AL-QUR'AN TENTANG PROSEDUR KIAMAT
PEMBAHASAN
YAUM AL-BA'TS / YAUM AL-QIYAMAH
Banyak redaksi yang digunakan Al-Quran untuk menguraikan hari akhir, misalnya yaum Al-Ba'ts (hari kebangkitan) yaum Al-Qiyamah (hari kiamat),' yaum Al-Fashl (hari pemisah antara pelaku kebaikan dan kejahatan), dan masih banyak lainnya.
Al-Quran Al-Karim menguraikan masalah kebangkitan secara panjang lebar dengan menggunakan beberapa metode dan pendekatan. Kata "Al-Yaum Al-Akhir" saja terulang sebanyak 24 kali, di samping kata "akhirat" yang terulang sebanyak 115 kali. Belum lagi kata-kata padanannya. Ini menunjukkan betapa besar perhatian al-Qur'an dan betapa penting permasalahan ini.
Banyak juga sisi dari "hari" tersebut yang diuraikan Al-Quran, dan uraian itu yang tidak jarang berbeda informasinya; bahkan berlawanan diletakkan dalam berbagai surat. Seakan-akan
Al-Quran bermaksud untuk memantapkan keyakinan tersebut bagian demi bagian serta fasal demi fasal- dalam jiwa pemeluknya. Di sisi lain, banyak pula cara yang ditempuh Al-Quran ketika menguraikan masalah tersebut serta banyak pula pembuktiannya.
Penafsir besar Al-Biqa'i (809-885 H) mengamati bahwa "kebiasaan Allah Swt. adalah bahwa Dia tidak menyebut keadaan hari kebangkitan, kecuali Dia menetapkan dua dasar pokok, yaitu qudrat (kemampuan) terhadap segala yang sifatnya mungkin1 dan pengetahuan tentang segala sesuatu yang dapat diketahui baik yang bersifat kulli (umum) maupun juz'I (rinci). Karena, siapa pun tidak dapat melakukan kebangkitan kecuali yang menghimpun kedua sifat tersebut." Untuk membuktikan hipotesisnya, Al-Biqa'i mengutip surat Al-An'am (6): 72-73.
Tentu saja tulisan ini tidak dapat menguraikan secara rinci seluruh persoalan "hari akhir" yang dikemukakan Al-Quran. Namun, semoga hal-hal pokok yang berkaitan dengannya dapat dikemukakan.

PADANG MAHSYAR
1. Definisi
Mahsyar (Arab: محشر) dalam Islam adalah Tempat berkumpul.
"Setiap jiwa datang bersama dengan satu penggiring dan satu penyaksi" (QS. Qaaf [50]: 21)
Penggiring adalah Malaikat dan penyaksi adalah dirinya manusia sendiri yang tidak dapat mengelak, atau amal perbuatan masing-masing. Begitulah penafsiran para Ulama.
"Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan." (QS. An-Nur [24]: 24.
Yang diinformasikan oleh ayat-ayat di atas dan semacamnya adalah bahwa pada hari itu tidak ada yang dapat mengelak, tidak ada juga yang dapat menyembunyikan sesuatu di hadapan pengadilan yang Maha Agung itu.
Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa matahari ketika itu demikian rendahnya sehingga semua dibasahi keringatnya sesuai dengan dosa masing-masing ada yang keringatnya meleleh ke lantai sampai mencapai setinggi lututnya atau tangannya bahkan mulutnya. ( H.R. Muslim dan At-Tirmidzy melalui Al-Miqdad bin Al-Sawad ).
Sementara Ulama mengecualikan tujuh kelompok manusia yang terhindar dari sengatan matahari itu, yaitu mereka yang mendapat perlindungan di bawah naungan singgasana Allah Swt. Dalam konteks ini Nabi Muhammad Saw. Bersabda: "Ada tujuh kelompok manusia yang diberi naungan oleh Allah pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Mereka adalah: Penguasa yang adil, Pemuda yang tumbuh berkembang dalam Ibadah kepada Allah, Siapa yang hatinya terkait dengan Masjid, Dua orang yang saling mencintai demi karena Allah, Siapa yang diajak melakukan dosa oleh seorang wanita cantik dan berkedudukan tetapi menolak karena takut kepada Allah, Siapa yang bersedekah secara rahasia, dan Siapa yang mengingat Allah lalu mencucurkan air mata." ( H.R. Bukhari dan Muslim melalui Abu Hurairah ).
2. Syafaat Nabi Muhammad Saw.
Pada situasi yang sangat mencekam di Padang Mahsyar itulah Allah Swt. menunjukkan secara nyata betapa tingginya kedudukan Nabi Muhammad Saw. Di sisi-Nya. Ketika itu sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, manusia saling mandang memandang, mencari siapa gerangan yang dapat diandalkan untuk bermohon kepada Allah agar situasi yang mencekam dan sengatan matahari itu dapat dielakan. Mereka pergi kepada Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa As. Tetapi semua Nabi mulia itu menolak dan menyebut dosa masing-masing sambil berkata: nafsy, nafsy, kecuali Isa As yang juga menolak tanpa menyebut dosa. Akhirnya mereka menuju Nabi Muhammad Saw. Beliau menerima permohonan mereka dan bermohon setelah menyampaikan pujian kepada Allah Swt. pujian yang belum pernah terucapkan sebelumnya. Allah Swt. memerintahkan beliau mengangkat sambil bermohon, maka beliau berkata singkat: "Tuhanku, Umatku-umatku". (HR. Bukhari, Muslim dll melalui Abu Hurairah).
Syafaat ini dinamai juga syafaat terbesar. Sementara Ulama berpendapat bahwa inilah yang dimaksud dengan al-Maqam al-Mahmudah yang dijanjikan Allah kepada Rasul Saw.
Di samping syafaat ini ada juga syafaat-syafaat khusus bagi orang-orang yang memperoleh izin untuk dianugerahi syafaat, baik dari Nabi Muhammad Saw maupun selain beliau. Nabi bersabda: "Setiap Nabi mempunyai doa yang dikabulkan Allah. Mereka semua telah bergegas memohonnya, sedang aku menangguhkan permohonanku (sampai hari kemudian) untuk memohon syafaat bagi umatku." (HR. Bukhari dan Muslim).

HISAB/PERHITUNGAN
1. Definisi
Yawm al Hisãb artinya hari perhitungan/ penghakiman amal baik dan amal buruknya manusia. Setelah berada di Mahsyar selanjutnya mereka satu persatu dihisab. Sebelum dihisab, mereka diberitahu tentang amal perbuatan yang telah mereka kerjakan meskipun mereka telah lupa apa yang mereka kerjakan. Amal manusia didunia telah dicatat oleh Malaikat Kirâman Kâtibîn, tanpa ada kekliruan sedikitpun.
2. Peristiwa Hisab
Pada peristiwa pengadilan dan hisab itu, para rasul didatangkan untuk dimintai pertanggungjawaban tentang amanat Allah pikulkan kepada mereka, yaitu menyampaikan wahyu Allah kepada umatnya, mereka pun member kesaksian atas hal yang mereka ketahui tentang kaum mereka.
"Pada hari Ini kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan." (QS. Yasiin [36]: 65.
Pada hari besar itu para saksi berdiri dan memberikan kesaksian perbuatan makhluk. Para saksi itu antara lain para malaikat yang dahulu mencatat amal perbuatan, para nabi dan ulama, bumi langit, malam dan siang.
Para hamba yang akan dihisab dalam peradilan agung oleh Allah didatangkan dan dihadapkan kepada Allah dengan berbaris-baris.
"Dan mereka dihadapkan kehadapan Tuhanmu dengan berbaris-baris.(QS.Al-Kahfi[18]:48.
Allah Swt. telah menceritakan kepada kita tentang peristiwa hisab dan pembalasan di "Hari Penghabisan":
"Dan terang benderanglah bumi (padang Mahsyar) dengan cahaya (keadilan) Tuhannya; dan diberikanlah buku (perhitungan perbuatan masing-masing) dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi dan diberi Keputusan di antara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dirugikan. (QS. Az-Zumar [39]: 69.
Yang mengadili dan menghisab adalah Allah, Hakim yang Maha adil, Pemelihara langit dan bumi, cukup bagi kita untuk memahami betapa pentingnya dan hebatnya peristiwa itu. Barangkali terang benderangnya bumi yang dinyatakan ayat tersebut terjadi saat datangnya Sang Raja Yang Maha Besar untuk membuat keputusan. Allah berfirman:
"Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan malaikat (pada hari kiamat) dalam naungan awan, dan diputuskanlah perkaranya. dan Hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan." (QS. Al-Baqarah [02]: 210).
Ayat itu juga menyatakan kedatangan malaikat. Ini berarti, peristiwa itu adalah peristiwa besar yang dihadiri oleh para malaikat dengan membawa buku-buku catatan amal.
3. Pembagian Buku Catatan Amal
Allah telah mensyifati Hari Kiamat dengan Firman-Nya, "Dan ketika catatan-catatan (amalan) dibukakan" (QS. At-Takwir [81]: 10). 'Ali Ibnu Ibrahim menafsirkan catatan-cacatan itu adalah "Buku yang memuat amalan setiap orang."
"Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami, Kitab apakah Ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang Telah mereka kerjakan ada (tertulis). dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun".( QS. Al-Kahfi [18]: 49.
"Dan apabila catatan-catatan (amal perbuatan manusia) dibuka," (QS. At-Takwir [81]: 10.
'Ali Ibnu Ibrahim berkata: "Yang dimaksud dengan catatan catatan amalan itu adalah buku yang memuat amalan setiap orang." Begitu juga Allah berfirman:
7. Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya,
8. Maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah,
9. Dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira.
10. Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari belakang,
11. Maka dia akan berteriak: "Celakalah aku". (QS. Al-Insyiqaq [84]: 7-11)
'Ayyasyi meriwayatkan dari Imam Ja'far Ash-Shadiq, "Ketika Hari Kiamat tiba, setiap orang diberi buku amalannya dan dikatakannya, "Bacalah" Kemudian Allah mengingatkannya akan semua yang telah dikerjakan: melihat, berbicaara, melangkah kaki, dan sebagainya. Seakan-akan semuanya tampak baru saja mereka lakukan. Kemudian mereka berseru, "Celakalah kami! Kitab macam apa ini, yang merekam semua amalan, sampai yang paling kecil sekalipun?."
Semua makhluk yang dibebani tanggungjawab akan menghadapi penghitungan, bukan hanya perbuatan dosa yang akan dimintai pertanggungjawaban, tetapi juga nikmat-nikmat yang diperoleh. Ini secara tegas dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya:
"Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)." (QS. At-Takatsur [102]: 8).
Angin sepoi, kesejukan air, sesuap nasi dan semua kesejahteraan yang pernah dinikmati akan dipertanyakan penggunaan dan pemanfaatannya.
Dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa Nabi Saw. Bersabda: "Tidaklah beranjak kaki putra putri Adam pada hari kiamat (dari Padang Mahsyar) sebelum ditanyai tentang empat hal: tentang umurnya, bagaimana dia habiskan, tentang jasadnya dalam hal apa dia gunakan, tentang ilmunya, apakah dia amalkan, dan tentang hartanya, bagaimana ia peroleh dan ke mana ia nafkahkan." (HR. At-Tirmidzy yang dinilainya Hasan Shahih, melalui Abu Barzah al-Aslamy).
MIZAN / TIMBANGAN
1. Definisi
Dihari itu mizan akan ditegakkan untuk menimbang amal perbuatan manusia. Al-Qurthubi mengatakan, "Setelah hisab (penghitungan) selesai, berikutnya adalah penimbangan amal perbuatan. Karena penimbanganuntuk menentukan balasan, maka harus dilakukan setelah penghitungan. Hisab untuk menilai amal perbuatan dan mizan untuk mengetahui kadar amal agar balasannya setimpal.
Banyak Nash menunjukkan bahwa mizan di sini dalam pengertian hakiki, yang ukurannya hanya Allah Swt. yang tahu. Al-Hakim meriwayatkan dari Salman dari Nabi Saw., yang bersabda, "Pada hari kiamat akan dipasang mizan, yang langit dan bumi pun dapat ditimbang dengan mizan itu. Malaikat berkata, ''Ya Tuhan, untuk siapa mizan ini?" Allah menjawab, "Untuk makhluk-makhluk-Ku yang Ku kehendaki." Malaikat berkata, Maha Suci Engkau, kami dahulu menyembah-Mu belum secara sebenar-benarnya."
Mizan itu sangat akurat, tidak lebih dan tidak kurang sedikitpun. Allah berfirman:
"Kami akan tegakkan timbangan yang adil pada hari kiamat, Sehingga tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu) Hanya seberat biji sawipun pasti kami mendatangkan (pahala)nya. dan cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan." (QS. Al-Anbiya [21]: 47.
Para Ulama berbeda pendapat tentang jumlah mizan, apakah satu atau banyak. Sebagian Ulama berpendapat bahwa setiap orang mendapat satu mizan, atau satu mizan untuk setiap amal. Allah berfirman: "Kami akan tegakkan timbangan (mawazin: bentuk jamak dari 'mizan') yang adil pada hari kiamat"
Yang lain berpendapat. Mizan hanya satu, sedangkan penggunaan bentuk jamak dalam ayat di atas karena banyaknya amal dan manusia yang ditimbang.
Ibn Hajr mendukung pendapat bahwa mizan itu hanya satu. Ia mengatakan, "Tidak masalah dengan banyaknya orang yang ditimbang, karena keadaan hari kiamat tidak seperti dunia.
As-Syafarini berkata:
Al-Hasan Al-Bashri pernah mengatakan, setiap mukalaf mendapat satu timbangan. Sebagian orang mengatakan pendapat lebih kuat adalah bahwa timbangan pada hari kiamat bukan hanya satu, berdasarkan firman Allah, "Kami akan tegakkan mawazin," dan, "Siapa yang mawazin-nya berat.” Al-Hasan Al-Bashri mengatakan, bisa saja ada satu mizan untuk perbuatan hati, satu mizan untuk perbuatan anggota-anggota badan, dan satu mizan untuk perkataan. Sedangkan Ibn 'Athiyyah berpendapat bahwa manusia ditimbang secara bergantian, masing-masing mendapat penimbangan yang khusus untuknya, tetapi mizannya tetap satu. Sebagian mengatakan penggunaan bentuk jamak (mawazin) dalam ayat di atas adalah karena banyaknya manusia yang ditimbang amalanya.
Pengadilan itu menggunakan "timbangan" yang hak sehingga tidak ada yang teraniaya karena walau sebesar biji sawi pun Tuhan akan mendatangkan ganjarannya. (Baca QS Al-Anbiya [21]: 47). Apakah timbangan itu sesuatu yang bersifat material atau hanya kiasan tentang keadilan mutlak, tidaklah banyak pengaruhnya dalam akidah, selama diyakini bahwa ketika itu tidak ada lagi
sedikit penganiayaan pun. Yang pasti adalah:
"Timbangan pada hari itu adalah kebenaran. Barangsiapa yang berat timbangan (amal salehnya) maka mereka adalah orang-orang beruntung, dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami." (QS Al-A'raf [7]: 8-9)

2. Apa yang Ditimbang
Para Ulama berbeda pendapat tentang apa yang ditimbang pada hari kiamat. Ada beberapa pendapat:
Pertama: Yang ditimbang pada hari kiamat adalah amal perbuatan itu sendiri. Amal berwujud secara fisikal dan diletakkan ditimbangan. Dasarnya adalah Hadis Abu Hurairah R.a dalam Shahih al-Bukhari bahwa Rasulullah Saw bersabda, " Ada dua kalimat yang dicintai ar-Rahman (Allah), ringan diucapkan tetapi berat dalam timbangan, yaitu Subhaanallah wa bi hamdihi dan Subhanallah al'Adzim.
Kedua: Yang ditimbang adalah lembaran-lembaran catatan amal perbuatan. At-Tirmidzy meriwayatkan dalam Sunan-nya, dari 'Abd Allah ibn 'Amr ibn 'Ash R.a., bahwa Rasulallah Saw. Bersabda: "Pada hari kiamat Allah akan memisahkan salah seprang dari umat-Ku di hadapan semua makhluk. Kepadanya disodorkan 99 buku catatan. Panjang setiap bukunya sepanjang penglihatannya. Allah bertanya, Adakah yang engkau ingkari buku ini? Apakah para penulis-Ku yang mencatat telah melalimimu? Orang itu menjawab, Tidak. Tuhan. Allah bertanya lagi, Apakah engkau memiliki alasan? Ia menjawab, Tidak. Tuhan. Allah berkata, Baik, dalam catatan Kami, engkau memiliki kebaikan. Tidak ada kelaliman hari ini. Lalu dikeluarkanlah sebuah kartu yang berisi dua kalimat syahadat. Allah berfirman, Hadiri penimbanganmu! Orang itu berkata, Apakah maksudnya kartu dengan buku-buku itu diletakkan di salah satu daun timbangan dan kartu itu di daun yang lain. Ternyata buku-buku itu ringan dan kartu itu berat. Tidak ada yang berat dibandingkan dengan nama Allah.
Al-Qurtubhi lebih cenderung pada pendapat ini. Ia berkata, "Yang benar, mizan menimbang berat atau ringannya buku-buku yang berisikan catatan amal perbuatan.
Hemat kami, kita harus percaya bahwa di hari kiamat nanti akan dilakukann timbangan amal, bagaimana cara menimbangnya dan apa alatnya tidaklah harus kita ketahui, tetapi yang jelas dan yang harus dipercayai adalah, bahwa ketika itu keadilan Allah Swt. akan sangat nyata dan sangat sempurna dan tidak ada seorang pun yang mengingkari keadilan itu sekalipun orang itu terhukum. Wallahu a'lam.
SHIRATH
1. Definisi
Shirath dalam segi bahasa adalah jembatan di atas Neraka Jahannam,( جسر علي متن جهنم) . dan tak seorang pun dapat memasuki Surga sebelum melewatinya. Dalam berbagai riwayat digambarkan bahwa Shirath lebih tipis daripada rambut, lebih tajam daripada pedang serta lebih panas daripada api.
2. Telaga
Dalam beberapa riwayat telah ditemukan informasi bahwa sebelum mencapai ash-shirath, mereka melalui apa yang dinamakan al-Haudh, yakni telaga. Airnya sangat jernih, siapa yang meminumnya tidak akan merasakan haus lagi. (HR. Bukhari melalui Abdullah bin 'Amr bin Ash R.a) Imam Muslim menambahkan bahwa ketika itu sunggguh banyak yang berebut untuk minum dari telaga Nabi Muhammad Saw, itu, tetapi hanya kaum muslimin yang diperkenankan meminumnya. "Kalian mempunyai tanda yang tidak dimiliki oleh umat yang lain, yaitu cahaya wajah dan dahi bekas-bekas air wudhu, yang membasahi anggota badan kalian." (HR.Muslim melalui Abu Hurairah). Sahabat lain, Anas bin Malik R.a, demikian juga Abu Hurairah R.a menyampaikan bahwa Rasul Saw, menginformasikan ada sekian banyak umat Islam, bahkan yang semasa dan melihat wajah beliau lagi mengucapkan dua kalimat syahadat, ada di antara mereka itu yang dihalangi meneguk dari telaga itu. Nabi Saw mengenal mereka dan bersabda: (Biarkan mereka minum) "Itu sahabat Ku", tetapi yang menghalanginya berkata: "Engkau tidak mengetahui apa yang telah mereka lakukan sepeninggal Mu (Wahai Nabi Muhammad)." (HR. Bukhari).
Minumlah dari Haudh Nabi Saw, siapa yang berbahagia untuk minum. Umat-umat Nabi-nabi mereka, karena menurut riwayat At-Tirmidzy melalui Sumarah R.a Nabi Bersabda: "Setiap Nabi mempunyai telaga. Mereka berbangga dengan banyaknya pengunjung. Saya mengharap kiranya telagaku lah yang terbanyak pengunjungnya."
Dari mahsyar (tempat berkumpul), manusia menuju surga atau neraka. Beberapa ayat dalam Al-Quran menginformasikan bahwa dalam perjalanan ke sana mereka melalui apa yang dinamai " shirath" .
"Antarlah mereka (hai malaikat) menuju Shirath Al-Jahim."(QS Al-Shaffat [37]: 23).
Dalam konteks pembicaraan tentang hari akhirat, Allah berfirman:
"Dan jika Kami menghendaki, pastilah Kami hapuskan penglihatan mata mereka, lalu mereka berlomba-lomba (mencari) ash-shirath (jalan). Maka, bagaimana mereka dapat melihatnya?" (QS Ya Sin [36]: 66).

Sementara Ulama memahami kata shirath bukan dalam arti material, ia adalah gambaran tentang kesulitan yang dihadapi oleh siapapun di hari kemudian.
Apapun maknanya, yang jelas semua orang akan mendatanginya, yakni melalui shirath itu. Allah menegaskan dalam Firman-Nya:
"Dan tidak seorang pun di antara kamu kecuali melewatinya (neraka). Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan-Nya. Kemudian Kami menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim, di dalam neraka dalam keadaan berlutut." (QS Maryam [19]: 71-72).

Berdasar ayat-ayat tersebut, sementara ulama berpendapat bahwa ada yang dinamai "shirath" berupa jembatan yang harus dilalui setiap orang menuju surga. Di bawah jalan (jembatan) itu terdapat neraka dengan segala tingkatannya. Orang-orang mukmin akan melewatinya dengan kecepatan sesuai dengan kualitas ketakwaan mereka. Ada yang melewatinya bagaikan kilat, atau seperti angin berhembus, atau secepat lajunya kuda; dan ada juga yang merangkak, tetapi akhirnya tiba juga. Sedangkan orang-orang kafir akan menelusurinya pula tetapi mereka jatuh ke neraka di tingkat yang sesuai dengan kedurhakaan mereka.
Konon shirath itu lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari pedang, (kalimat dalam bahasa Arab) Demikian kata Abu Sa'id sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Para ulama khususnya kelompok Mu'tazilah yang sangat rasional menolak keberadaan shirath dalam pengertian material di atas, lebih-lebih melukiskannya "dengan sehelai rambut di belah tujuh". Memang, melukiskannya seperti itu, paling tidak, bertentangan dengan pengertian kebahasaan dari kata shirath. Kata tersebut berasal dari kata saratha yang arti harfiahnya adalah "menelan". Kata shirath antara lain diartikan "jalan yang lebar", yang karena lebarnya maka seakan-akan ia menelan setiap yang berjalan di atasnya.

DAFTAR PUSTAKA

Quraisy Syihab, Wawasan al-Qur'an, Bandung: Mizan pustaka, Cet.II, 2007
Quraisy Shihab, Perjalanan Menuju Keabadian, Jakarta: Lentera Hati, Cet. I 2001
Umar Sulaiman, Al-Asyqar, Ensiklopedi Kiamat, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, Cet. II 2005.
Syaikh 'Abbas Qummiy Dastanha-e Safar-e Akhirat Terjmh, Intisyarat-e Syahab: Persia, Penerjemah Faruq bin Dhiya' Bandung: Pustaka Hidayah, Mei, Cet. Pertama 1995.
A.Choiran Marzuki, Kiamat Surga dan Neraka, Yogyakarta: Mitra Pusaka, Cet. II,1999.
Abu Hamid Al-Gahazali, Metafisika Alam Akhirat, Surabaya: Risalah Gusti, Cet. Pertama 1997.
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari, Cairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, xxiv.
Ali Atabik, dan Ahmad Zuhri Muhdhar, Al-'Ashri(Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, Cet. Kedelapan, 2003.

Senin, 30 November 2009

TAFSIR SURAT AL-MAIDAH AYAT 18
بسم الله الرحمن الرحيم
وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاء اللّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُم بِذُنُوبِكُم بَلْ أَنتُم بَشَرٌ مِّمَّنْ خَلَقَ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ وَلِلّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ ﴿١٨
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: "Kami Ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya". Katakanlah: "Maka Mengapa Allah menyiksa kamu Karena dosa-dosamu?" (kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia(biasa) diantara orang-orang yang diciptakan-Nya dan mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. dan kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu)." ( QS.al-Maidah: 18).

ASBABUN NUZUL
عن ابن عباس قال: أتى رسولَ الله صلى الله عليه وسلم نعمانُ بن أص وبحريّ بن عمرو، وشأس بن عدي، فكلموه، فكلّمهم رسول الله صلى الله عليه وسلم، ودعاهم إلى الله وحذّرهم نقمته، فقالوا: ما تُخَوّفنا، يا محمد!! نحن والله أبناء الله وأحبَّاؤه!! كقول النصارى، فأنزل الله جل وعز فيهم:"وقالت اليهودُ والنصارى نحن أبناء الله وأحباؤه"، إلى آخر الآية.

Dari Ibnu Abbas Ra beliau berkata: ”Nu’man bin Ash, Bahriy bin Amr dan Sya’s bin ‘Adi datang kepada Rasulallah Saw, mereka mencela/berkata-kata kepada Rasulallah Saw dan Rasulallah Saw pun membalasnya dan menyeru mereka kepada Allah dan memperingatkan mereka tentang azab-Nya. Mereka berkata: ”engkau tidak membuat kami takut wahai Muhammad!! Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya!!” Begitu juga kaum Nasrani berkata seperti mereka..” maka Allah menurunkan ayat diatas berkenaan tentang mereka.

PEMBAHASAN
Ayat ini sebenarnya masih ada kaitan dengan ayat sebelumnya yaitu masih berkisar tentang Yahudi dan Nasrani (Ahli Kitab). Aspek keserasian antara ayat ini dan sebelumnya adalah pada ayat sebelumnya Allah mengungkap argumen kesesatan ahli kitab dari yahudi dan nasrani secara umum, dan menjelaskan bahwa mereka adalah bangsa yang sangat enggan untuk beriman dengan syari’at islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. Maka pada ayat ini Allah menjelaskan bentuk lain dari kekufuran mereka secara khusus.
Allah Ta’ala berfirman :
وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاء اللّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ
"Orang yahudi dan Nasrani berkata bahwa mereka adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya".
Dalam ayat ini terdapat sesuatu yang ganjil yaitu ahli kitab yang sejatinya mereka telah membaca al-Kitab Taurat dan Injil mengaku anak tuhan. Tentu menjadi suatu pertanyaan mengapa sampai terjadi seperti ini. Apakah ada hal yang melatar belakangi mereka berani mengatakannya. As-Sudi didalam tafsir Khozin mengatakan bahwa mereka berkata bahwa Allah swt mewahyukan kepada Israil “Nabi Ya’kub” bahwa Dia akan memasukkan anak cucunya kedalam neraka selama 40 hari saja sehingga habis semua kesalahan mereka didalam neraka. Setelah itu mereka dikeluarkan dari dalamnya. Inilah yang menyebabkan Yahudi mengatakan “Api neraka tidak akan menyentuh kami kecuali beberapa hari tertentu saja”.
Secara lebih umum ayat ini menurut al-Alusy adalah tentang “suatu kelompok yang mendeklarasikan sebuah doktrin dan pernyataan sesat yang menyalahi pernyataan umum, dan penjelasan sebuah kesesatan umum yang serupa dengan mereka dan menjelaskan kesesatan, intinya adalah ada keserupaan illat dengan apa yang diceritakan oleh ayat ini. ”
Adapun kaum Nasrani mengatakan bahwa Isa itu adalah anak Allah yang kemudian mereka mengaku-ngaku dan menasabkan diri kepada Nabi Isa yang menurut mereka anak Allah itu.
Adapun dalam lafadz أَبْنَاء اللّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ, ada beberapa pendapat tentang lafadz tersebut:

1. ‘Athofnya “Ahibba’ ” terhadap lafadz “abna’ullah” adalah sebagai bentuk perkataan mereka yang sangat menarik. Yaitu “Anak-anak yang dicintai “ walau si anak tersebut dimurkai. ”yang dicinta, yang dimurka”. Wallahu ‘alam.
2. Ahli kitab tidak benar-benar mengatakannya. Untuk pendapat ini ada beberapa permasalahan :

1. Bagaimana bisa al-Qur’an mengatakan bahwa mereka ahli kitab mengatakan anak-anak dan kekasih Allah?
2. Nasrani menganggap Isa adalah anak Allah, tetapi bukan pada hak mereka. Bagaimana boleh mereka disifati sebagai mengaku anak tuhan?

Adapun jawaban yang pertama adalah seperti yang telah dinukil dari Imam Fakhrurrazi dalam tafsirnya “Mafatihul Ghaib” atau “Tafsir Kabir” :
أجاب المفسرون عنه من وجوه : الأول : أن هذا من باب حذف المضاف ، والتقدير نحن أبناء رسل الله ، فأضيف إلى الله ما هو في الحقيقة مضاف إلى رسل الله ، ونظيره قوله { إِنَّ الذين يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ الله } ( الفتح :10).
Jadi pernyataan yahudi dalam mendeklarasikan “anak Allah” ternyata “anak Rasul Allah Israil/Nabi Ya’qub” yang mereka dijamin “masuk neraka cuma 40 hari”. Tetapi dari sini pula pangkal jatuhnya mereka sehingga menjadi sombong yang selalu dalam kekufuran karena keyakinan mereka bahwa mereka tidak akan tinggal dineraka selamanya.
Jawaban yang kedua : “lafadz Ibn sebagaimana dipakai untuk anak kandung, maka bisa dipakai pula terhadap orang yang mengambil anak. Mengambil anak berarti mengkhususkan untuk memberikan perhatian dan kecintaan lebih terhadap anak angkatnya. Suatu kaum ketika mengaku bahwa perhatian dan pengawasan Allah lebih dari kaum selainnya, tidak diragukan lagi Allah melegalisir pernyataan mereka “bahwa perhatian Allah lebih untuk mereka” sehingga dapat dikatakan bahwa mereka adalah anak-anak Allah...” sebagaimana mereka mengaku bahwa Isa adalah anak Allah dan Nasrani adalah kaum yang paling baik diantara kaum yang lain.
قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُم بِذُنُوبِكُم
Kemudian Allah Swt memerintahkan Nabi-Nya untuk menyanggah pernyataan mereka. “kalau seandainya memang perkara tersebut seperti apa yang kalian sangka, maka bagaimana pula kalian di azab disebabkan dosa-dosa kalian didunia? Sebagaimana Allah telah menghancurkan kerajaan kalian dari muka bumi, dan banyak lagi kejadian yang ditimpakan kepada kalian karena pelanggaran-pelanggaran yang kalian lakukan. Maka logikanya itu adalah kekasih tidak akan menghukum kekasihnya, orangtua juga tidak akan menghukum anaknya. Kalau dihukum, bahkan dimasukkan dineraka berarti sama saja bukan kekasih namanya.”. Karena kalau kalian adalah anak-anak(Nabi)Allah pasti kalian mewarisi sifat bapaknya yaitu kalian tidak melakukan tindakan pelanggaran serta tidak akan dihukum, kalau kalian memang kekasih Allah mengapa kalian mengkhianati dan mendurhakai Allah?
Sungguh kalimat diatas suatu sanggahan yang sangat rasional sekali dan dapat mengundang rasa malu untuk orang yang mengaku sebagai “seseorang yang dekat yang disayang” akan tetapi “disama ratakan dengan yang lain dalam hal strata sosial”. Seakan-akan ada isyarat “kok kamu bisa mengaku sebagai ini itu, ini itu akan tetapi realisasinya sama saja dengan orang yang tidak mengatakan ini itu ini itu”. Sungguh suatu sanggahan Balagi yang sangat menusuk tajam kedalam jiwa bagi orang-orang yang benar-benar meresapinya. Pertanyaannya adalah apakah sanggahan hal seperti ini berlaku kepada orang-orang yang telah dibutakan hatinya? Menyombongkan diri ketika sudah ada ditampu kepemimpinan? Menyombongkan diri ketika tidak ada lagi seseorang yang melebihinya... wallahu’alam.
بَلْ أَنتُم بَشَرٌ مِّمَّنْ خَلَقَ
Sudah tentu sanggahan tadi sangat menyakitkan. Oleh karena itu seyogyanya bagi orang yang berfikir untuk kalah berargumentasi ketika dihadapkan dengan pernyataan diatas. Dan sudah pasti jawabannya adalah satu “kalau seperti itu kejadiannya, berarti kamu sama saja dengan saya”. Kasarnya adalah, sudahlah tidak usah menyombongkan diri menganggap lebih dari orang lain, jangan sok suci kalau masih ada kesalahan, jangan berlagak benar sendiri jika dalam berargumen masih belum dapat diterima oleh publik. Bahkan argumen yang dilontarkan oleh selain orang yang berlagak alim (orang-orang biasa itu), dekat dengan Tuhan itu lebih relevan, lebih kongkrit, dan dapat diterima oleh khalayak ramai. Intinya adalah kamu sama seperti saya. Hanya Allah yang berhak membedakan mana yang benar dekat dengan Tuhannya, mana yang cuma ngaku-ngaku benar dekat Tuhannya dan yang lain tidak seperti kami. Ya itulah sifat yahudi. Mau menang sendiri.
يَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ
Allah mengampuni orang-orang yang bertaubat dari kesalahannya dan tidak mengulangi lagi kesalahan tersebut serta mengazab orang-orang yang tidak bertaubat dari kesalahannya serta mati dalam keadaan tersebut. Dikatakan maknanya adalah seseorang tersebut diberi petunjuk kejalan yang benar kemudian Allah mengampuni mereka dan mematikan orang yang dikehendakinya dalam keadaan kafir maka Allah mengazabnya. Mungkin dapat juga kalimat ini dikatakan sebagai “ancaman serta hiburan”. Mengancam tetapi dengan memberikan solusi dengan pilihan yang lain. Disini juga terdapat isyarat halus seakan-akan Allah mengatakan “Bertaubatlah sebelum terlambat” atau seperti kata orang “Sholatlah sebelum disholatkan”.
وَلِلّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا
Sebuah kesempunaan penolakan terhadap pernyataan mereka. Bahwa pernyataan mereka tidak mempengaruhi kekuasaan Allah sedikitpun. Bahwa sesungguhnya Dialah pemilik sejati alam semesta. Mengatur atas kehendak dan hikmahnya. Dialah pemilik sejati alam raya, mengadakan dan meniadakan, mematikan dan menghidupkan, memberi pahala atau mengazab. Maka darimana mereka bisa mendapatkan kepastian bahwa Allah pasti mengampuni mereka?
Ketika Allah menggunakan term السموات memberikan arti hakikat. Memang dzatnya betul-betul. Bukan hanya arah yang biasa terkandung dalam term السماء.
وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ
Dan hanya kepada Allah swt saja tempat kembali semua makhluq yang ada. Kembali kapada pemilik sejati bukan kepada selainnya. Maka setiap orang akan dibalas menurut amal perbuatannya. Jika baik amalnya, maka yang akan didapatkan diakhirat baik pula. Dan apabila jelek, tidaklah seseorang mendapatkan kecuali apa yang telah dia perbuat.
Ayat ini kalau boleh pemakalah katakan adalah sebuah ayat ancaman. Karena dari permulaan ayat menceritakan perihal yahudi dan nashrari sepaket dengan kekufuran mereka. Dilanjutkan dengan jadal dan diakhiri dengan kesemuanya akan kembali kepada Allah. Kalau difikirkan lebih lanjut, seakan ayat ini mengisyaratkan sebuah pelajan penting didalam hidup. Yaitu, ketawadduan, saling menghormati, tidak egois yang maunya benar sendiri. Hasbunallah.

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ayat 18 surat al-Maidah ini seakan-akan memberikan pencerahan bagi kita akan pentingnya rasa rendah hati, tidak mengklaim paling baik dan benar sendiri. Meninggalkan strata sosial, mengedepankan toleransi sesama bahwa setiap manusia mempunyai hak yang sama didalam hidup. Dengan metode jadal yang mengena dihati, mudah dicerna oleh nalar, hingga meninggalkan kesan yang positif untuk para pencari Tuhan yang sejati.
Ayat ini berkisar tentang kisah Yahudi dan Nasrani bersama sifat-sifat mereka. Suatu gambaran umum bahwa yang bersifat seperti mereka adalah golongan mereka walau dari segi aqidah bukan dari golongan mereka. من تشبه بقوم فهو منهم.
Allah Swt sebagai pemilik otoritas tertinggi diatas semua makhluk-Nya, Pemilik jagat raya, berkuasa untuk mengampuni atau mengazab, mematikan atau menghidupkan, semua atas kehendak dan menurut hikmah-Nya. Dan semuanya akan kembali pada-Nya.







B. DAFTAR PUSTAKA
Al-Tabarī Muhammad b. Jarīr Abū Ja‘far " Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta'wīl Āy al-Qur'ān, ( Mesir: Mus (1968),
Wahbah al-Zuhaylī, al-Tafsīr al-Munīr fi al-‘Aqīdah wa al-Syarī‘ah wa al-Manhaj, (Beirut: Dār al-Fikr al-Mu‘ās, 1991)
Al-Alūsīy, Syihāb al-Dīn al-Sayyid Mahmud Abū al-Fad al-Baghdādī, Rūh al-Ma‘ānī fī Tafsīr al-Qur'ān al-'Azīm wa al-Sab‘ al-Mathānī, (Beirut: Dār al-Fikr)
Al-Zarkasyhî Badr al-Dîn Muhammad, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur`ân (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah, 1408/1988)
Ar-Razi Fakhruddin, Mafatih al-Ghaib min al-Qur'an al-Karim/Tafsir al-Fakh al-Razi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000)
al-Bagdady , 'Alauddin 'Ali bin Muhammad bin Ibrahim, Tafsir al-Khozin, Maktabah as-Syamilah, Juz 1
Ibnu ‘Asyur, Muhammad Thahir, At-Tahrir wat Tanwir, Maktabah As-Syamilah, Juz 6
Al-Zamakhsyari, Abu al-Qashim Mahmud bin Umar, Maktabah as-Syamilah, Juz 1

Selasa, 10 November 2009



Kamis, 29 Oktober 2009

HADITS KEDUA

HADITS KEDUA

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ   وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ . قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ . {رواه مسلم}

Dari Umar Radhiallahu 'anh juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam) seraya berkata: " Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?", maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam : " Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu ", kemudian dia berkata: " anda benar ". Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang  membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: " Beritahukan aku tentang Iman ". Lalu beliau bersabda: " Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk ", kemudian dia berkata: " anda benar".  Kemudian dia berkata lagi: " Beritahukan aku tentang ihsan ". Lalu beliau bersabda: " Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau" . Kemudian dia berkata: " Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)". Beliau bersabda: " Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya ". Dia berkata:  " Beritahukan aku tentang tanda-tandanya ", beliau bersabda:  " Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian)  berlomba-lomba meninggikan bangunannya ", kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: " Tahukah engkau siapa yang bertanya ?". aku berkata: " Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui ". Beliau bersabda: " Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian ".    (Riwayat Muslim)

 A. MARAJI'UL HADITS (REFERENSI HADITS)

1.      Shahih Muslim, Kitabul Iman. Hadits Nomor 8.

2.      Sunan At-Tirmidzi, Kitabul Iman, Hadits Nomor 2738.

3.      Sunan Abu Dawud, Kitabus Sunnah, Bab Al-Qadr, Hadits Nomor 4695.

4.      Sunan An-Nasa'I, Kitabul Iman, Bab Na'tul Islam: 8/97.

 

B. AHAMMIYATUL HADITS (URGENSI HADITS)

Ibnu Daqiq Al'id berkata, "Hadits ini sangat penting meliputi semua amal perbuatan, yang dhahir dan batin, bahkan semua ilmu Syari'at mengacu padanya, karena memuat segala hal yang ada dalam semua hadits, bahkan seakan menjadi Ummus-Sunnah (Induk bagi hadits), sebagaimana surat Al-Fatihah disebut Ummul Qur'an karena ia mencakup seluruh nilai-nilai yang ada dalam al-Qur'an.

Hadits itu mutawatir karena diriwayatkan dari 8 Sahabat ra: Abu Hurairah ra, umar ra, Abu Dzar ra, Anas ra, Ibnu Abbas ra, Ibnu Umar ra, Abu 'Amir, Al-Asy'ari, dan Jarir Al-Bajali ra.

C. FIQHUL HADITS (KANDUNGAN HADITS)

Dalam hadits tersebut di atas terdapat beberapa isi kandungan yaitu:

1.      Memperbaiki pakaian dan penampilan.

Ketika hendak masuk masjid dan akan menghadiri majelis ilmu, disunnahkan memakai pakaian yang rapih, bersih dan memakai minyak wangi. Bersikap baik dan sopan di majelis ilmu dan dihadapan para ulama adalah prilaku yang sangat baik, karena jibril saja dating kepada Nabi Muhammad saw dengan penampilan dan sikap yang baik.

2.      Definisi Islam

يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ  

 " Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?  

Secara etimologi, Islam berarti tunduk dan menyerah sepenuhnya pada Allah SWT, secara terminologi, adalah agama yang dilandasi oleh lima dasar, yaitu:

1)      Syahadatain.

2)      Menunaikan shalat wajib pada waktunya, dengan memenuhi syarat, rukun dan memperhatikan adab dan hal-hal yang sunnah.

Adapun Makna: وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ   " engkau mendirikan shalat" ini seakan-akan shalat merupakan suatu bangunan yang kokoh, di dalam bangunan tersebut orang itu tinggal, bermunajat, berdialog dengan Allah dan berikrar dengan mengucapkan:

"Hanya Engkaulah yang kami sembah,dan Hanya kepada Engkaulah kami  meminta pertolongan"

Dengan ikrar ini, ia mengakui ke-Esaan Allah, karena Dial ah yang mempunyai hak Ubudiyah, yaitu hak untuk disembah dan diibadahi, dan orang itu berikrar bahwa hanya kepada-Mu lah kami menyembah / mengabdikan diri

3)      Mengeluarkan zakat.

4)      Puasa di bulan Ramadhan.

5)      Haji sekali seumur hidup bagi yang mampu, mempunyai biaya untuk pergi ke tanah suci dan mampu memenuhi kebutuhan keluarga yang ditinggalkan. Allah berfirman:

"Kalau engkau mampu mendapatkan jalan ke sana"

Ini berarti kalau ada jalan yang aman, tidak dalam keadaan perang dan sebagainya, juga bila ongkos-ongkos dan semua fasilitas tersedia, badan sehat dan sebagainya. 

3.      Definisi Iman

قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ

" Kemudian dia bertanya lagi:" Beritahukan aku tentang ihsan…?"

Secara etimologi, Iman berarti 'Pengakuan atau pembenaran'. Secara terminologi, berarti 'pembenaran dan pengakuan' yang mendalam akan

1)      Adanya Allah swt, Pencipta alam semesta yang tidak mempunyai sekutu apapun.

2)      Adanya makhluk Allah swt. yang bernama Malaikat. Mereka adalah hamba Allah yang mulia, tidak pernah melakukan maksiat dan slalu menuruti perintah-Nya. Mereka diciptakan dari cahaya, tidak makan, tidak berjenis (laki-laki ataupun wanita), tidak mempunyai keturunan dan tidak ada yang tahu jumlahnya kecuali Allah swt.

3)      Adanya kitab-kitab samawi yang diturunkan Allah swt dan meyakini bahwa kitab-kitab tersebut (sebelum diubah dan diselewengkan manusia) merupakan syar'iat Allah.

4)      Adanya rasul-rasul yang telah diutus Allah, yang dibekali dengan kitab samawi, sebagai perantara untuk memberikan hidayah pada umat manusia. Meyakini bahwa mereka adalah manusia biasa yang diistimewakan dan ma'shum (terjaga dari segala dosa).

5)      Adanya hari Akhir. Pada hari itu Allah membangkitkan manusia dari kuburnya, lalu diperhitungkan seluruh amal perbuatannya. Amal perbuatan yang baik akan dibalas dengan kebaikan, dan amal perbuatan yang buruk dibalas dengan keburukan.

6)      Adanya Qadha dan Qadar. Artinya, apapun yang terjadi pada alam semesta inii merupakan ketentuan dan kehendak Allah semata, untuk satu tujuan yang hanya diketahui-Nya.

Inilah rukun-rukun Iman. Siapapun yang meyakini, maka ia akan selamat dan beruntung, dan barangsiapa yang menentangnya maka ia akan sesat dan merugi, Allah swt, berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya (Muhammad saw), serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya". (Qs.An-Nisa: 136).

4.      Islam dan Iman

Melalui penjelasan di atas maka kita pahami bahwa Iman dan Islam dalah dua hal yang berbeda, secara etimologi maupun secara terminologi. Pada dasarnya, jika berbeda nama tentu berbeda makna. Meskipun demikian, tidak jarang dipergunakan dengan arti yang sama, Islam berarti Iman, dan sebaliknya. Keduanya saling melengkapi. Iman sia-sia tanpa Islam, demikian juga sebaliknya.

5.      Definisi Ihsan

قَالَ:فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ قَالَ :أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ     

Kemudian dia berkata lagi: " Beritahukan aku tentang ihsan…? Lalu beliau bersabda: " Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau"                     

Ihsan adalah ikhlas dan penuh perhatian. Artinya sepenuhnya ikhlas beribadah hanya kepada Allah dengan penuh perhatian sehingga seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika tidak mampu, maka ingatlah bahwa Allah senantiasa melihatmu dan melihat apapun yang ada pada dirimu.[5]

Hadits ini memberitahukan kepada kita bahwa bila anda lalai dalam shalat atau dalam ibadah lainnya, maka Allah melihat anda. Dan ketahuilah ibadah yang terbaik ialah kalau apa yang anda lakukan itu dan tahu, sadar bahwa Allah ada di samping anda dan melihat anda.

6.      Hari Kiamat dan tanda-tandanya

قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ

Kemudian dia berkata: " Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan  kejadiannya)". Beliau bersabda: " Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.

Tibanya hari Kiamat adalah rahasia Allah swt. tidak satu pun makhluk mengetahuinya, baik malaikat maupun Rasul. Karenanya, Nabi saw bersabda kepada Jibril, "Tidaklah yang ditanya lebih tahu daripada yang bertanya." Meskipun demikian, Nabi  Muhammad saw. Menjelaskan sebagian tanda-tandanya, antara lain:

·         Krisis moral, sehingga banyak anak yang durhaka kepada orang tuanya, mereka memperlakukan orang tuanya seperti perlakuan tuan terhadap budaknya.

·         Kehidupan yang jungkir balik. Banyak orang bodoh menjadi pemimpin, pemberian wewenang kepada orang yang tidak mempunyai kemampuan, harta melimpah, manusia banyak yang berlaku sombong dan foya-foya, bahkan mereka berlomba dan saling meninggikan bangunan dengan penuh kebanggaan. Mereka berlaku congkak pada orang lain, bahkan mereka seakan ingin menguasainya.

قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا

Dia berkata:  " Beritahukan aku tentang tanda-tandanya ", Beliau bersabda:  " Jika seorang hamba melahirkan anak tuannya….

Maksudnya kaum muslim kelak akan menguasai negeri-negeri kafir sehingga banyak tawanan, maka budak-budak perempuan banyak yang melahirkan anak tuannya dari anak ini akan menempati kedudukan sebagai majikan karena kedudukan bapaknya                                                               

7.      Etika bertanya.

Seorang muslim, akan menanyakan sesuatu yang membawa manfaat bagi dunia dan akhiratnya. Ia tidak akan menanyakan hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat. Bagi orang yang menghadiri sebuah majlis ilmu lalu ia melihat bahwa audiens ingin mengetahui satu hal. Ternyata hal tersebut belum ada yang menanyakan, maka sepatutnya ia menanyakan meskipunia sudah mengetahuinya agar orang-orang yang hadir bisa mengambil manfaat dari jawaban yang diberikan.

Orang yang ditanya tentang suatu hal, dan ia tidak mengetahui jawabannya, hendaknya ia mengakui ketidaktahuannya agar tidak menjerumus pada hal-hal yang tidak mengetahuinya.

8.      Metode Tanya jawab.

Pendidikan modern pun mengakui bahwa metode Tanya jawab adalah metode pendidikan yang relatif berhasil, karena memberikan tambahan semangat pada diri pendengar untuk mengetahui jawaban yang akan diberikan. Metode ini sering dipergunakan Rasulallah saw. Dalam mendidik generasi Shabat ra.

 

KESIMPULAN

Dari hadits yang ke-dua dari Arba'in Nawawi, diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kata Islam dan Iman memiliki perbedaan baik secara lughah (bahasa) maupun secara syar'i, bila dilihat dari asal pengertian dari dua kata tersebut. Akan tetapi dalam pengertian syar'i terkadang satu kata telah mengandung dua makna yang lain dan sebaliknya. Poin yang paling penting dalam hadis hadits ke-dua ini adalah penjelasan tentang Islam, Iman dan Ihsan serta wajibnya mengimani kekuasaan Allah swt.

 

DAFTAR PUSTAKA

  • Muhyiddin Mitsu, Musthafa Dieb Bugha,Dr. Al-Wafi Fisyarh Kitab Arba'in An- Nawawiyah, (Damaskus-Beirut: Daar Ibnu Katsir 1998),Cet. Kesepuluh.
  • Dhafir Muhil,Lc. Terjemah Al-Wafi (Menyelami Makna 40 Hadits Rasulullah),( Jakarta: Al-I'tisham, April 2009),Cet. Kesebelas
  • Imam Nawawi, Syarah Arba'in, Tanzil Ubay, Terjemah Syarah Hadits Arba'in, (Jakarta: khasanah Ilmu, Des.1996), Cet. Pertama.
  •  Ibnu Daqiq Al-'Ied, Syarah al-Arba'in Hadits an_nawawiyah, Cet.Kedua Thn.1415 H.
  • Thalib Muhammad, Terjemah Syarah Hadits Arba'in Imam Nawawi,( Yogyakarta: Media Hidayah, Okt.2001), Cet Pertama.